Konsultan Pajak di Bali dalam Kesantunan Berbahasa untuk Menghadapi Globalisasi dan Modernisasi

Kesantunan Berbahasa Konsultan Pajak dalam Upaya Menghadapi Globalisasi dan Modernisasi

 

 

Oleh :   Ida Ayu Eka Pratiwi, S.S.,M.Hum.,AP.Par.Bud.
Konsultan Pajak di Bali

 

Bersikap serta bertutur kata yang sopan merupakan hal yang sangat penting dalam berkomunikasi pada semua bidang, termasuk bidang jasa konsultasi pajak dan akuntansi. Untuk memahami kesopanan di era globalisasi dan modernisasi ini, seorang konsultan pajak terutama konsultan pajak di Bali dituntut tidak hanya memahami maksud atau makna dari aturan pajak yang berlaku, akan tetapi juga harus memahami nilai sosial serta nilai budaya lawan bicaranya. Kesederhanaan dan kerendahan hati sering digunakan sebagai parameter penilaian kesantunan seseorang di dalam masyarakat bahasa dan budaya Indonesia. Kesantunan berbahasa merupakan salah satu aspek kebahasaan yang mencerminkan tingkat kecerdasan intelektual, dan emosional penuturnya. Dalam melakukan komunikasi, seorang konsultan pajak dengan lawan bicaranya diharapkan dapat menyampaikan kebenaran, dan berkomitmen menjaga keharmonisan hubungan dengan tujuan agar komunikasi dapat berjalan dengan lancar dan nyaman tanpa menyinggung satu dengan yang lain. Perbedaan penafsiran dan penggunaan pilihan kata yang tidak tepat, cermat dan serasi akan memunculkan kesalahpahaman, apabila dibiarkan terus-menerus terjadi, hal ini dapat menimbulkan banyak konflik berbahasa, mengintimidasi, mendeskreditkan sehingga memancing suasana yang kurang baik, sehingga Konsultan Pajak di Bali harus mengetahui dan memahami hal tersebut.

Menurut Larry L. Barker (dalam Mulyana, 2005), bahasa mempunyai tiga fungsi: penamaan (naming atau labeling), interaksi, dan transmisi informasi. Penamaan atau penjulukan merujuk pada usaha mengidentifikasikan objek, tindakan, atau orang dengan menyebut namanya sehingga dapat dirujuk dalam komunikasi. Fungsi interaksi menekankan berbagai gagasan dan emosi, yang dapat mengundang simpati dan pengertian atau kemarahan dan kebingungan. Fungsi transmisi dari bahasa yaitu informasi dapat disampaikan kepada orang lain melalui bahasa. Seperti yang diketahui, pajak tidak hanya cukup untuk dimengerti, akan tetapi pajak harus dapat dipelajari dan dipahami secara komprehensif dari aspek hukum pajak, dasar pengenaan pajak, penetapan pajak, sengketa pajak serta hak-hak yang mengikuti wajib pajak. Dengan

demikian fungsi bahasa seperti yang disebutkan diatas, dapat membantu konsultan pajak dan wajib pajak untuk mempelajari dan memahami pajak secara komprehensif.

Terdapat beberapa unsur dan sistem yang memengaruhi serta menyertai kesantunan berbahasa seorang konsultan pajak yang diuraikan pada tulisan ini, yaitu (i) unsur suprasegmental yang memengaruhi kesantunan, dan unsur paralinguistik yang menyertai kesantunan, (ii) sistem verbal dan non-verbal yang berkaitan dengan berbahasa secara santun. Dalam menentukan karakterikterik bahasa seorang konsultan pajak, sebaiknya konsep prilaku berbahasa harus dipahami terlebih dahulu. Prilaku itu dipengaruhi oleh aspek-aspek kognitif (pengetahuan), psikomotorik (tindakan), dan afektif (sikap). Konsultan pajak harus memiliki pengetahuan yang luas mengenai sistem perpajakan yang berlaku di Indonesia, dan juga menguasai cara berkomunikasi yang baik dengan wajib pajak untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman yang disebabkan oleh kurang lengkapnya informasi yang diterima oleh wajib pajak. Sikap dan tindakan yang dilakukan harus mencerminkan seorang konsultan pajak yang berkualitas, memiliki dedikasi tinggi pada profesinya, dan tidak melanggar norma-norma sosial yang ada di masyarakat.

Perilaku berbahasa adalah proses yang mencerminkan terbentuknya sikap berbahasa. Perilaku berbahasa cenderung merujuk kepada pemakaian bahasa secara konkret, sedangkan sikap berbahasa mengacu kepada bahasa sebagai sistem (Wardhaugh, 2006). Sistem yang digunakan dalam berbahasa, yaitu sistem verbal (lisan maupun tulisan), dan sistem non-verbal. Kedua sistem tersebut memiliki fungsi yang sama penting dalam pemakaian bahasa. Sistem non-verbal dibagi menjadi dua yaitu: sistem non-verbal yang melekat pada sistem tanda verbal, dan sistem non-verbal yang tidak menyertai sistem verbal. Sistem non-verbal yang menyertai sistem verbal disebut unsur suprasegmental yang meliputi: tekanan, nada, jeda, dan intonasi, sedangkan sistem non- verbal yang tidak menyertai sistem verbal melainkan melekat pada diri penutur adalah unsur paralinguistik yang mencakup: ekspresi muka, gerakan tangan, dan gerakan tubuh. Konsultan pajak khususnya Konsultan Pajak di Bali  di dalam memberikan layanan konsultasi mengenai perpajakan harus memahami unsur suprasegmental serta unsur paralinguistik tersebut sehingga memudahkan dan melancarkan proses komunikasi dengan lawan bicaranya.

Pada dasarnya bahasa adalah suatu sistem lambang yang memungkinkan orang

berbagi makna. Dalam komunikasi verbal, lambang bahasa yang dipergunakan adalah bahasa lisan, tulisan, maupun elektronik (era digital). Kesantunan berbahasa tercermin dalam tata cara berkomunikasi lewat tanda verbal atau tata cara berbahasa. Ketika berkomunikasi konsultan pajak selayaknya mengikuti norma-norma budaya yang ada di dalam masyarakat. Sebelum membahas lebih lanjut mengenai kesantunan berbahasa, sebaiknya kita mengetahui beberapa macam komunikasi seperti komunikasi verbal dan non-verbal yang memiliki kaitan dengan berbahasa secara santun.

  1. KOMUNIKASI VERBAL DAN NON-VERBAL
    1. Komunikasi Verbal

Jenis-jenis komunikasi verbal dapat dilihat sebagai berikut.

  1. Berbicara dan

Bericara adalah komunikasi verbal-vokal, sedangkan menulis adalah komunikasi verbal-nonvokal.

  1. Mendengar dan membaca

Mendengar dan mendengarkan mempunyai makna berbeda. Mendengar berarti menangkap getaran bunyi dengan telinga, sedangkan mendengarkan adalah mengambil makna dari apa yang didengar dengan sungguh-sungguh.

Mendengarkan melibatkan empat aspek, yaitu mendengar, memperhatikan, memahami, dan mengingat.

Membaca adalah suatu cara untuk mendapatkan informasi dari sesuatu yang ditulis.

  1. Komunikasi Non-Verbal

Komunikasi non-verbal adalah komunikasi yang pesannya dikemas dan dibentuk tanpa kata-kata. Komunikasi non-verbal dapat berupa (i) sentuhan, seperti bersalaman, menggenggam tangan, berciuman, sentuhan di punggung, mengelus-elus, pukulan, dan lain-lain, (ii) gerakan tubuh (kinesik) meliputi kontak mata, ekspresi wajah, isyarat, gerakan tangan dan sikap tubuh. Gerakan tubuh biasanya digunakan untuk menggantikan suatu kata atau frase, misalnya mengangguk atau menggeleng untuk mengisyaratkan kata “ya” dan “tidak”, mengilustrasikan atau menjelaskan sesuatu, bertepuk tangan untuk menunjukkan perasaan senang, bangga akan pencapaian sesuatu,

(iii) vokalik atau paralanguage, adalah unsur non-verbal dalam suatu ucapan, yaitu cara

berbicara. Contohnya adalah nada bicara, nada suara, keras atau lemahnya suara, kecepatan berbicara, kualitas suara, intonasi, dan lain-lain, (iv) kronemik, adalah bidang yang mempelajari penggunaan waktu dalam komunikasi non-verbal. Penggunaan waktu dalam komunikasi non-verbal meliputi durasi yang dianggap cocok bagi suatu aktivitas, banyaknya aktivitas yang dianggap patut dilakukan dalam jangka waktu tertentu, serta ketepatan waktu ‘punctuality’ .

Komunikasi non-verbal lebih bersifat jujur mengungkapkan hal yang hendak diungkapkan karena sifatnya spontan. Non-verbal juga bisa diartikan sebagai tindakan- tindakan manusia yang secara sengaja dikirimkan dan diinterpretasikan seperti tujuannya, dan memiliki potensi akan adanya umpan balik ‘feedback’ dari penerimanya. Banyak komunikasi verbal tidak efektif hanya karena komunikatornya tidak menggunakan komunikasi non-verbal dengan baik dalam waktu bersamaan. Melalui komunikasi non- verbal, seorang konsultan pajak dapat mengambil suatu kesimpulan mengenai perasaan yang dialami oleh lawan bicaranya seperti perasaan senang, sedih, kaget atau heran, dan berbagai macam perasaan lainnya.

  1. KESANTUNAN BERBAHASA

Menurut Leech (1983), kesantunan berbahasa pada hakikatnya harus memperhatikan empat prinsip:

  1. Politeness principle ‘prinsip kesopanan,’ ditandai dengan memaksimalkan kesenangan atau kearifan, keuntungan, rasa bangga atau rasa hormat, pujian dan rasa simpati terhadap orang lain, dan mengurangi hal-hal tersebut pada diri sendiri.
  2. Avoidance of using taboo words ‘menghindarkan pemakaian kata-kata tabu,’ misalnya kata-kata yang berbau seks, kata-kata yang merujuk pada organ-organ tubuh tertentu, kata-kata yang merujuk pada suatu hal yang menjijikkan, kotor, tidak lazim dan kasar.
  3. Using euphemisms ‘menggunakan ungkapan penghalus’. Penggunaan eufemisme ini perlu diterapkan untuk menghindari kesan negatif. Eufemisme harus digunakan secara wajar, tidak berlebihan.
  4. Honorific word choices ‘pilihan kata honorifik’, yaitu ungkapan hormat untuk berbicara dan menyapa orang lain.

Unsur paralinguistik, kinesik dan proksemika yang sesuai dengan situasi komunikasi diperlukan dalam penciptaan kesantunan berbahasa. Penjelasan dari masing-masing unsur dapat dilihat seperti berikut.

  1. Paralinguistik berkenaan dengan ciri-ciri bunyi seperti suara-suara: berbisik, meninggi, rendah, sedang, keras atau pengubahan intonasi yang menyertai unsur verbal dalam Seorang konsultan pajak harus memahami kapan unsur-unsur ini diterapkan pada saat berbicara dengan orang lain.
  2. Kinesik atau gesture ‘gerak isyarat’ berkenaan dengan gerak tangan, anggukan kepala, gelengan kepala, kedipan mata, ekspresi wajah seperti yang telah dijelaskan diatas. Seorang konsultan pajak harus dapat menerapkan gerak isyarat tersebut sesuai dengan situasi dan kondisi yang tepat.
  3. Proksemika yaitu sikap penjagaan jarak antara penutur dan penerima tutur pada saat proses komunikasi itu berlangsung. Konsultan pajak juga harus dapat memahami hal ini, yaitu dengan mengatur jarak yang tepat dalam berkomunikasi, tidak terlalu dekat atau tidak terlalu jauh supaya pesan yang disampaikan dapat didengar dengan jelas.

Penerapan unsur-unsur tersebut sangat berdampak terhadap kesantunan berbahasa. Pengaturan ketiga unsur ini akan berbeda di setiap konteks situasi. Setiap penutur (konsultan pajak) harus menemukan strategi yang tepat sebagai wahana bagi tercapainya tujuan berkomunikasi dengan tingkat ancaman muka yang serendah mungkin. Brown & Levinson mengkategorikan lima cara melakukan tindak mengancam muka. Cara pertama, melakukannya secara langsung dan transparansi tanpa kemasan kesantunan atau mitigasi. Cara kedua, melakukannya secara langsung dengan kemasan kesantunan positif. Cara ketiga, melakukannya secara langsung dengan kemasan kesantunan negatif. Cara keempat, melakukannya secara tidak langsung (off record). Cara kelima, melakukannya dengan diam atau tidak mengatakan apa-apa. Hal ini berarti tidak melakukan tindak mengancam muka tersebut.

Untuk menunjang analisis tingkat kesantunan, maka bisa mempergunakan etnografi komunikasi berdasarkan teori Sosiolinguistik. Hymes (1974) mengemukakan suatu kerangka etnografi yang membahas berbagai macam faktor yang terlibat dalam percakapan. Faktor-faktor itu disingkat menjadi SPEAKING (S = Setting and Scene. P = Participants, E = End, A = Act Sequence. K= Key, I = Instrumentalities, N = Norms of interaction and interpretation, G = Genre). Setting mengacu pada waktu dan tempat, yaitu lingkungan nyata tempat terlaksananya

suatu percakapan. Scene mengacu pada waktu dan tempat yang secara psikologi abstrak atau batasan budaya peristiwa bicara. Pada setting tertentu, seorang konsultan pajak dapat mengubah scene pada saat dia mengubah tingkat formal menjadi tidak formal ataupun sebaliknya, dari tidak formal menjadi formal. Participants adalah berbagai kombinasi pembicara-pendengar. Dalam percakapan antara dua orang yang melibatkan pembicara dan pendengar, masing- masing peran dapat berubah. Pembicara dapat menjadi pendengar dan pendengar dapat menjadi pembicara. Akan tetapi, ada juga komunikasi yang tidak mengubah peran pesertanya seperti misalnya, seorang konsultan pajak yang memberikan penjelasan secara rinci dan detail mengenai aturan perpajakan kepada wajib pajak sebagai pendengarnya (orang yang menerima informasi tersebut). Ends mengacu pada hasil yang diperoleh dari suatu komunikasi. Hasilnya dapat berupa kesepakatan atau perjanjian antara konsultan pajak dan wajib pajak. Hasil tersebut harus jelas pada akhir komunikasi (diskusi) yang sudah dilakukan oleh kedua pihak. Act sequence mengacu pada bentuk dan isi nyata dari apa yang dibicarakan. Hal ini merupakan kelanjutan hasil kesepakatan dari komunikasi tersebut, supaya dapat diaplikasikan dengan baik oleh kedua belah pihak. Key mengacu pada nuansa atau perilaku penyampaian pesan. Seorang konsultan pajak diharapkan dapat menjelaskan materi secara spesifik sesuai dengan topik pembicaraan saat itu. Instrumentalities adalah pilihan bagaimana pesan itu disampaikan oleh konsultan pajak kepada wajib pajak. Norms of interaction and interpretation mengacu pada perilaku khusus yang menyertai komunikasi dan bagaimana perilaku ini dipandang oleh orang yang tidak memiliki norma yang sama. Seorang konsultan pajak harus dapat memahami bahwa setiap wajib pajak kemungkinan besar memiliki norma- norma yang berbeda, jadi perilaku khusus dianggap penting di dalam suatu komunikasi. Terakhir, genre mengacu pada jenis-jenis ujaran yang digunakan dalam sebuah diskusi atau percakapan. Kemampuan seorang konsultan pajak untuk mengaplikasikan SPEAKING akan membuat orang tersebut memiliki kompetensi berkomunikasi (communicative competence).

Seperti yang telah diuraikan diatas bahwa dalam upaya menghadapi globalisasi dan modernisasi, seorang konsultan pajak diharapkan dapat menyampaikan kebenaran, dan berkomitmen menjaga keharmonisan hubungan dengan tujuan agar komunikasi dapat berjalan dengan lancar dan nyaman tanpa saling menyinggung perasaan. Dalam hal ini, bahasa memiliki fungsi sebagai penamaan (naming atau labeling), interaksi, dan transmisi informasi yang dapat membantu konsultan pajak dan wajib pajak untuk mempelajari dan memahami pajak secara

komprehensif. Terdapat juga beberapa unsur dan sistem yang memengaruhi serta menyertai kesantunan berbahasa seorang konsultan pajak, terutama Konsultan Pajak di Bali seperti (i) unsur suprasegmental yang memengaruhi kesantunan, dan unsur paralinguistik yang menyertai kesantunan. (ii) sistem verbal dan non-verbal yang berkaitan dengan berbahasa secara santun. Etnografi komunikasi dapat dipergunakan untuk menunjang analisis tingkat kesantunan dari berbagai macam faktor yang terlibat dalam percakapan. Faktor-faktor itu disingkat menjadi SPEAKING (S = Setting and Scene, P = Participants, E = End, A = Act Sequence, K= Key, I = Instrumentalities, N = Norms of interaction and interpretation, G = Genre).

“Penulis adalah salah satu pasca sarjana terbaik Lulusan Universitas Udayana dengan IPK : 3,95.        Penulis juga merupakan Pe-Modal awal IBU Consulting,              juga pemberi Ide Logo IBU Consulting berlogo “Bumi” = IBU Pertiwi,  Juga pencetus  Motto IBU Consulting = Together we are Better”.